Dalam berbagai teori psikologi yang saya ketahui, disiplin adalah karakter yang sangat penting dan lebih penting dari motivasi untuk mencapai kesuksesan. Dalam disiplin, etika juga terkandung di dalamnya.
Jika memperhatikan berbagai fenomena yang ada, disiplin dan etika inilah yang menjadi masalah, bahkan masalah besar dan utama, bagi bangsa Indonesia.
Keprihatinan akan masalah tentang karakter, disiplin dan etika bangsa Indonesia inilah yang nampaknya sekolah menerapkan kebijakan "Jumat Bersih" di sekolahnya.
Meskipun tidak berarti selain hari Jumat boleh merokok atau tindakan tidak taat aturan dan tidak disiplin lainnya, namun melanggar kebijakan pada hari tersebut merupakan sebuah bentuk pelanggaran secara terang-terangan atas sebuah hukum dan kebijakan yang diterapkan.
Karena ini adalah sebuah pelanggaran nyata atau terang-terangan, maka pihak sekolah berhak memberikan sanksi tegas kepada siswa yang melanggarnya.
Tinggal pertanyaannya, sanksi tegas apa yang layak diberikan kepada siswa yang ketahuan melanggar aturan atau kebijakan "Jumat Bersih" ini ?
Terlepas dari sanksi apa yang layak diberikan, kita sepakat bahwa sanksi harus diberikan kepada siswa yang melanggarnya.
Lalu layakkah seorang guru menampar menampar seorang murid yang melanggar aturan atau kebijakan "Jumat Bersih" ini ?
Hukum atau sanksi tegas harus diberikan demi tegaknya aturan. Jika ini tidak diberlakukan maka aturan dan kebijakan dianggap sepele dan diabaikan.
Seringkali jika mencari kebenaran hanya dari satu pihak maka akan dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Jika benar sang guru menampar, menempeleng atau menendang maka kemungkinan besar akan ada bekas tindakan tersebut.
Dan mengenai peristiwa menampar ini sendiri harus dibuktikan dulu kebenarannya. Budaya tabayun atau memverifikan kebenaran suatu informasi ini seringkali belum menjadi budaya yang senantiasa diterapkan dan dijunjung tinggi.
Terlepas yang mana yang benar, apakah versi guru atau versi siswa, kearifan harus dijunjung tinggi dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, bukannya langsung masuk ke ranah hukum dengan melaporkan kepada pihak kepolisian.
Karena jika tidak benar dengan laporan dari versi siswa tersebut, maka ini artinya orang tua siswa tersebut melakukan kesalahan tambahan, yaitu melindungi keburukan. Dalam hal ini, melindungi kebohongan atau ketidakjujuran siswa tersebut dan perilaku melanggarnya.
Yang menjadi catatan saya di sini adalah fungsi sekolah bukanlah hanya menjadi tempat transfer pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga pembentukan mental dan karakter. Jikalau fungsi sekolah dan tugas guru hanyalah mentransfer pengetahuan, maka sekolah itu sebaiknya tiada. Cukuplah para siswa mencari pengetahuan via google dan youtube, lalu mengikuti tes atau ujian ketika dirasa sudah menguasai. Bukankah ini lebih efektif ?
Namun ada satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh google dan youtube, yaitu pembentukan mental dan karakter di antaranya dengan memberikan sanksi kepada yang melanggar aturan dan kebijakan. Itulah mengapa sekolah tetap ada dan harus tetap ada.
Yang pasti, ketika guru tersebut kemudian dikenakan sanksi hukum, ini akan menambah riwayat di mana pada akhirnya para guru takut untuk bertindak tegas kepada para siswa yang melanggar aturan dan kebijakan.
Dan kalau sudah begini, generasi muda yang bagaimanakah yang akan terbentuknya nanti ke depannya ?
Yang pasti, jika ada yang mengatakan bahwa generasi muda sekarang ini sedemikian rapuhnya, ini bisa jadi karena sikap kita sendiri yang terlalu melindungi para siswa sehingga membuat pihak sekolah menjadi tidak berdaya dalam menerapkan sanksi tegas kepada para siswa yang nakal atau melanggar kedisplinan, aturan maupun kebijakan.
Max Hendrian Sahuleka
-------------------------
Sumber Berita :
https://www.kompas.com/banten/read/2025/10/14/070000388/duduk-perkara-kepala-sman-1-cimarga-tampar-siswa-hingga-dilaporkan-ke