MASIH INGAT DENGAN PERMAINAN "PESAN BERANTAI" ?
Dalam permainan itu kita menemukan fakta bahwa seringkali sebuah pesan menjadi mengalami deviasi / penyimpangan ketika sampai ke orang lain yang entah dia menerima pesan itu sudah pada mata rantai yang ke berapa.
Sayangnya, banyak orang yang tidak mau berupaya menelusuri pernyataan atau sumber asalnya. Bahkan menganggap bahwa apa yang telah diterimanya itu adalah REALITAS. Dan itu bisa jadi karena ia menerima sebuah OPINI yang dianggapnya sebagai REALITAS itu sesuai dengan pandangan atau kepentingannya.
Inilah yang terjadi dengan KEBIJAKAN MENTERI AGAMA DALAM MENGATUR PENGGUNAAAN TOA DAN SPEAKER MASJID.
Kebijakan Menteri Agama dalam mengatur penggunaan toa dan speaker masjid ini dipelintir sedemikian rupa seolah-olah menjadi kebijakan melarang adzan.
Padahal kita tahu sama tahu bahwa suara adzan atau mengumandangkan adzan tidaklah dilarang sama sekali. Sekali lagi, kebijakan tersebut adalah mengatur pengunaan toa dan speaker masjid.
Mengatur penggunaan toa dan speaker masjid di sini mencakup :
- Mengatur penggunaannya
- Mengatur volumenya
MENGATUR PENGGUNAANNYA
Dilihat dari peruntukannya, toa dan speaker masjid itu dapat dibagi menjadi toa/speaker luar dan toa/speaker dalam.
Seringkali kita jumpai bahwa penggunaan toa dan speaker masjid di Indonesia, setidak-tidaknya yang saya temui di daerah saya, hal-hal yang seharusnya menggunakan "toa/speaker dalam" juga menggunakan "toa/speaker luar". Misalnya: zikiran dan doa setelah shalat berjamaah, ceramah, dan lain sejenisnya.
Mereka tetap menggunakan toa dan speaker luar untuk zikiran dan doa setelah shalat berjamaah, ceramah, latihan kasidah / marawis, dan lain sejenisnya dengan alasan untuk syiar.
Lebih dari itu, "toa dan speaker luar masjid" seringkali digunakan untuk hal-hal yang sifatnya dikatakan bukanlah syiar agama sama sekali, seperti : latihan kasidah / marawis, belajar mengaji, pengumuman yang sifatnya individual dan tidak penting-penting amat, dan lain sejenisnya.
Dalam hal ini, saya jadi teringat dengan materi stand up commedy yang dibawakan oleh Panji Pragiwaksono yang mengkritik penggunaan toa dan speaker luar ini. Di bawah ini saya sertakan tentang stand up commedy Panji Pragiwaksono tersebut :
Apakah masih menilai latihan kasidah / marawis, belajar mengaji, pengumuman yang sifatnya individual dan tidak penting-penting amat, dan lain sejenisnya sebagaimana yang juga disampaikan oleh Panji Pragiwaksono tersebut sebagai sebuah bentuk syiar agama ?
Apakah orang-orang seperti orang yang komentar terhadap postingan saya yang saya masukkan di awal postingan masih menganggap tidak perlunya mengatur penggunaan toa dan speaker luar masjid ??? Bahkan orang-orang seperti ini sampai-sampai menganggap bahwa orang yang mengatur suara toa dan speaker masjid sebagai orang yang akan mendapat azab Allah. WOW, sebegitunya beragama di negeri ini sampai-sampai tidak mau diatur.
Orang-orang seperti ini alih-alih mau diatur, malah menyuruh orang-orang yang berkeberatan dengan suara-suara yang muncul dari toa dan speaker masjid lebih baik pegi dari daerah tersebut. Mungkin inilah mengapa banyak orang menjadi tidak berani mengajukan keberatannya atas penggunaan toa dan speaker masjid yang tidak pada tempatnya yang dapat mengganggu orang lain.
Sebagai contoh, di daerah saya di Duri Kepa, orang-orang latihan kasidah dan marawis seringkali menggunakan toa dan speaker masjid. Seandainya pun suara dari alat musik yang dihasilkan dengan merdu, belum tentu berarti semua orang menyukainya. Besar kemungkinan ada orang yang merasa terganggu yang bisa jadi karena dia tidak suka akan kasidah dan marawis, bisa jadi dia sedang sakit sehingga membutuhkan ketenangan, bisa jadi dia sedang berusaha menidurkan anaknya sehingga ada suara berisik sedikit saja maka akan membuat anaknya terganggu untuk tidur, dan lain sebagainya.
Bahkan beberapa kali terjadi ceramah dan kasidahan sampai sekitar jam 12 malam, terutama jika ada acara-acara seperti peringatan maulid Nabi dan lain sebagainya. Dan kondisi saya yang waktu sedang sakit dan membutuhkan ketenangan sampai-sampai kesal dengan fenomena tersebut. Apalagi ditambah dengan materi ceramahnya yang bernuansa provokatif dan permainan kasidahnya yang menurut saya kurang bagus.
MENGAPA SAYA TIDAK PROTES ?
Jika saya protes pasti dibilang gak tahu diri hanya karena bisa dikatakan saya adalah pendatang di daerah tersebut. Atau bisa jadi dianggap berlebihan karena yang berada sangat dekat dengan mushola dan masjid saja tidak ada yang keberatan.
BENARKAH ORANG-ORANG YANG BERADA SANGAT DEKAT DENGAN MASJID TIDAK ADA YANG BERKEBERATAN ?
Panshaiskpradi, dalam studi berjudul "Resepsi Khalayak Mengenai Tarhim" (Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 2 2019), yang bersumber dari penelitiannya di Masjid Jami' Ar-Rohmah, Bandung, menyatakan keluhan dari masyarakat muncul tatkala speaker masjid disetel dalam volume tinggi, khususnya dalam penggunaan speaker di luar adzan. Keluhan umumnya berasal dari mereka yang tinggal dekat dengan masjid. Sayangnya, jarang ada warga di sekitar Masjid Jami' Ar-Rohmah yang berani mengutarakan keluhan karena, mengutip salah satu responden, "gak berani".
Sejurus dengan temuan Panshaiskpradi, melalui kuisioner terhadap 342 warga Indonesia, Anugrah Sabdono Sudarsono, dalam studi berjudul "The Perception of Sound Quality in a Mosque" (Advanced Industrial technology in Engineering Physics 2019), menyebut 45 persen responden mengaku merasa negatif terhadap kualitas suara speaker masjid. Mereka menganggap kualitas speaker bermasalah dan atau terlalu keras.
Untuk itulah saya setuju adanya kebijakan mengatur penggunaan toa dan speaker masjid. Sungguh tindakan yang melampaui batas, yang tidak menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya dan tidak sesuai kadarnya, adalah sebuah TINDAKAN YANG ZALIM.
Dan alangkah baiknya kita juga melihat kebijakan negara lain mengenai penggunaan toa dan speaker luar masjid ini.
Malaysia, Bahrain dan Mesir melarang pengeras suara keluar masjid digunakan selain adzan. Bahkan Mesir melarang toa selama Ramadhan agar ibadah lebih tenang, sementara di Indonesia banyak orang di Masjid yang semakin intensif menggunakan toa dan speaker luar saat bulan suci Ramadhan.
MENGATUR VOLUMENYA
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, badan yang mengurus masalah kesehatan di Amerika Serikat), manusia umumnya akan mengalami gangguan kesehatan tatkala mendengarkan suara yang memiliki tingkat kebisingan di atas 55 dB (Desibel), terutama yang terdengar dalam tempo lama.
NIOSH merekomendasikan suara yang memiliki tingkat kebisingan yang berada lebih dari 90 dB tidak boleh didengarkan lebih dari 1 jam. Artinya, relatif tidak ada masalah yang ditimbulkan manakala speaker masjid digunakan untuk keperluan utamanya, adzan. Namun, bagaimana kalau lebih dari 90 dB dan lebih dari 1 jam ???
Untuk itulah perlu ada kebijakan mengatur volume yang dikeluarkan dari toa dan speaker masjid agar tidak mengganggu kesehatan dan kehidupan orang lain.
Di Uni Emirat Arab, suara adzan tidak boleh melebihi batas 85 desibel di kawasan pemukiman. Lalu bagaimana dengan di Indonesia ?
Sesungguhnya kebijakan batas maksimal volume suara dari toa dan speaker masjid yang dikeluarkan oleh Menteri Agama sudah lebih dari cukup, yaitu 100 desibel. Dan ini artinya batasan ini lebih tinggi dari batasan maksimal dari kebijakan negara-negara muslim lainnya yaitu 85 desibel, dan di atas batas yang direkomendasikan oleh NIOSH yaitu 90 desibel.
Jadi, sesungguhnya kebijakan yang dibuat oleh Menteri Agama Indonesia ini sudah berada di atas batas standar yang direkomendasikan dan yang umumnya diterapkan di negara-negara Islam lainnya.
Kalau saya boleh memberikan saran, malahan batas maksimalnya adalah 55 desibel sebagaimana yang direkomendasikan oleh WHO.
PENUTUP
Alangkah baiknya kita menyimak firman Allah SWT berikut ini :
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ
Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar.” [ Q.S. Al-Maidah / 5 : ayat 77 ]
Sayangnya banyak orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi kebijakan menteri Agama ini tanpa mau mengkajinya dengan seksama mengenai kebijakan yang dibuatnya terkait masalah ini.
Dan sikap berlebihan tersebut, yang bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan zalim ini, mencakup
- Memelintir kebijakan mengatur penggunaan toa dan speaker masjid ini menjadi dianggap sebagai melarang adzan.
- Menganggap kebijakan Menteri Agama tersebut sebagai pelarangan terhadap syiar agama.
Dan sangking tidak memahami dengan baik mengenai kebijakan mengatur penggunaan toa dan speaker ini sampai-sampai ada yang menganggapnya hal ini sebagai sesuatu yang buruk sehingga memperoleh azab dari Allah. Ya Allah, sedemikiannya ya mereka itu.
Dan celakanya, jika ada pihak-pihak yang mengadukan keberatannya atas penggunaan toa dan speaker masjid yang melampaui batas ini jsutru malah diadukan balik dengan tuduhan menistakan agama dan lain sebagainya seperti yang terjadi pada Meliliana.
Semoga saja kebijakan menteri agama mengenai pengaturan volume toa dan speaker masjid ini bukan hanya menjadi kebijakan semata, melainkan juga harus ada penegakkan hukum dan sanksi bagi yang melanggarnya. Tentunya semua ini demi kebaikan semuanya.
Salam Cerdas Bernalar dan Beragama,
Max Hendrian Sahuleka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar