KUMPULAN ARTIKEL :

Kamis, 02 Oktober 2025

KETIKA SEBUAH NEGERI DIPIMPIN OLEH SEORANG LULUSAN SMA (ATAU SEDERAJAT), MAKA ..............

KETIKA SEBUAH NEGERI DIPIMPIN OLEH SEORANG LULUSAN SMA (ATAU SEDERAJAT), MAKA ..............

"Jika suatu negeri dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya."

[ Nabi Muhammad saw ]

Semakin tinggi posisi sebuah jabatan dan semakin besar tanggung jawabnya, maka membutuhkan syarat yang semakin tinggi kualitasnya. Ini adalah hukum, hukum kepemimpinan, yang sudah kita pahami bersama.

Seringkali posisi sebuah jabatan yang biasa-biasa saja mensyaratkan pendidikan di atas SMA. Bahkan tidak sedikit lulusan sarjana (S1) yang melamar posisi atau lowongan tersebut. Ini semua karena sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya.

Lalu bagaimana dengan posisi "wakil presiden" ? Apakah hanya karena menyandang kata "wakil" maka dianggap jabatan ini biasa-biasa aja dan karenanya tidak harus lulusan sarjana (S1) ??? Atau, apakah posisi "wakil presiden" tidak ada yang minati sehingga syarat tingkat pendidikannya tidak harus tinggi ???

Sebuah pendidikan memang belum tentu mencerminkan kualitas diri seseorang. Begitulah pembenaran yang seringkali dilontarkan untuk membenarkan pernyataan ini. Jika pendidikan yang tinggi belum tentu menjamin kualitas diri seseorang, apalagi yang rendah.

Sejauh yang saya amati, tingkat pendidikan seseorang memang belum tentu menjamin kualitas diri seseorang, namun setidak-tidaknya mempengaruhi kualitas intelektual seseorang. Dan memang pendidikan lebih kepada aspek kognitif / intelektual seseorang.

Dan hal inilah yang dapat kita lihat langsung perbedaan antara seseorang yang berpendidikan tinggi dengan berpendidikan rendah. Sebodoh-bodohnya seorang lulusan sarjana akan lebih banyak menyerap dan menguasai kosakata dalam dunia intelektual / akademisi dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Jika posisi "wakil presiden" dianggap biasa-biasa aja karena menyandang kata "wakil", lalu kata "Presiden" menjadi diabaikan ???

Jika Anda pecinta sepakbola, maka Anda akan menemukan fakta bahwa yang menjadi cadangan belum tentu yang kualitasnya lebih rendah. Tidak sedikit yang kualitasnya lebih baik, atau mampu menunjukkan bahwa kinerjanya (permainannya) adalah lebih baik.

Meskipun hanya sebagai cadangan, bahkan meskipun tidak menjadi pemain cadangan, para pemain profesional ini tetap menjalani sesi pelatihan yang sama seperti halnya pemain utama.

Lalu bagaimana dengan posisi "wakil presiden" yang dalam hal ini menjadi sorotan dalam tulisan ini ???

Sudah seharusnya, "wakil presiden" harus mempunyai syarat yang sama dengan "presiden" karena bagaimana pun juga ia akan menggantikan "presiden" jika wafat atau mangkat atau berhalangan untuk hadir dan menjalani tugasnya.

Bagi para pemuja atau pendukungnya mencari pembenaran bahwa pengalaman lebih penting dari tingkat pendidikan.

Berikut ini adalah jawaban saya atas pernyataan di atas :

  1. Tingkat pendidikan seseorang setidak-tidaknya menjamin kesabaran dirinya dalam menjalani sebuah proses. Dalam hal ini adalah proses jenjang pendidikan, terutama di sini adalah proses yang wajar.
  2. Tingkat pendidikan seseorang setidak-setidak mempengaruhi tingkat intelektualitas dan banyaknya kosakata ilmiah dan intelektual pada dirinya.
  3. Tingkat pendidikan seseorang setidak-tidaknya mempengaruhi pengalaman dia lebih banyak dalam dunia pendidikan / akademisi dibandingkan yang pendidikannya rendah.
Tidakkah hal ini dapat Anda nilai sendiri dari berbagai jawaban atau paparan Gibran Rakabuming Raka selaku wakil presiden Indonesia ???

Dan semua kualitas ini, bukan hanya dapat menentukan kinerja dan prestasi, melainkan juga akan berdampak pada harkat, derajat dan martabat bangsa dan negara.

10 tahun absennya Jokowi di PBB membuat kredibilitas Indonesia menurun bahkan negatif di mata internasional. Dan jangan sampai catatan negatif ini terulang lagi dengan dipimpinnya negeri ini oleh seorang pemimpin yang berpendidikan rendah, apalagi jika tingkat intelektualitasnya juga rendah.

Bahkan pidatonya Jokowi yang sangat kelihatan ketidakfasihannya dalam bahasa Inggris menjadi candaan banyak netizen di berbagai platform media sosial.

Kata pendukungnya, bahasa Inggris tidak menerminkan intelektualitas seseorang. Setidak-tidakanya kita dapat melihat ini pada apa yang disampaikan. Dan jika esensi lebih penting dari kulit, maka ia pasti akan mengambil langkah cerdas dengan menggunakan penterjemah, bukan ngomong blepotan dan isinya juga miskin kualitas intelektual.

Bukankah banyak tokoh-tokoh dunia yang juga bicara tidak dalam bahasa Inggris, tapi kualitas kata-kata yang disampaikannya sampai membuat decak kagun banyak tokoh bangsa dan banyak orang ???

Jadi, kembali di awal, mengapa MK menolak ubah syarat capres-cawapres harus minimal S1 ???

Dan keputusan MK ini membuat saya bertanya-tanya dan kehilangan kagumnya kepada para hakim MK yang dissenting opinion pada saat sengketa Pilpres kemarin. Ini seperti permainan "good cop, bad cop". Karena meskipun ada 4 hakim MK yang dissenting opinion, tetap saja tidak akan mampu mengubah keputusan dalam sidang sengkete pilpres.

Jika para hakim MK yang dissenting opinion ini mencoba penekanannya pada kontekstual, bukannya tekstual, mengapa hal ini tidak dilakukan pada keputusan ubah syarat capres-cawapres ???

Nabi bersabda: "Jika suatu negeri dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya." Semoga saja rakyat Indonesia yang terbukti dari akan memilih pemimpin yang cerdas ke depannya nantinya, yang mengedepankan logika bukannya logistik, yang mengedepankan mindset bukannya joget, yang benar-benar mampu membawa Indonesia menjadi Indonesia Emas bukannya Indonesia Cemas. Dan ini semua tergantung pada sikap dan kecerdasan rakyat Indonesia, serta sejauh mana kita turut mencerdaskan dan mencerahkan rakyat.


Salam Cerdas Bernalar, Beragama, dan Berpolitik,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  • SHARE