Alih-alih mengkaji ulang secara ilmiah mengenai kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, pemerintah malah membangun opini dan dalil yang mengada-ngada untuk menjustifikasi kebijakannya. Berikut ini adalah beberapa argumentasi pemerintah yang layak untuk dikritisi :
1. Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% adalah amanat UU
Dalil pemerintah yang pertama dilontarkan untuk membenarkan kebijakannya menaikan PPN dari 11% menjadi 12% adalah amanat UU yang ditetapkan pada tahun 2022 dan diterapkan secara bertahap paling lambat Januari 2025.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan tentang hal ini :
- Mengapa mesti dikatakan bahwa paling lambat kebijakan menaikan PPN dari 10% menjadi 12% ini harus dilakukan secara bertahap di mana sampai pada masa pemerintahan selanjutnya tepatnya Januari 2025 ?
- Apakah tidak melakukan kajian secara ilmiah untuk menaikan PPN dari 11% menjadi 12% dengan melihat dampaknya secara makro maupun mikro dari dampak kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% ?
- Tidak dapatkah DPR dan pemerintah sekarang meninjau ulang dan memutuskan untuk membatalkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% ini ?
Untuk pertanyaan PERTAMA, saya ingin mengajukan pertanyaan lebih lanjut, mengapa hasil keputusan DPR dan Presiden untuk menaikan PPN dari 10% menjadi 12% ini tidak langsung dilaksanakan secara bertahap pada masa pemerintahan Jokowi saat itu sampai sebelum berakhir masa jabatannya ?
Pada tahun 2022, pemerintah telah menaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%. Lalu mengapa pemerintahan Jokowi demi melaksanakan UU, mengapa tidak menaikan PPN tahap selanjutnya dari 11% menjadi 12% ?
Jawabannya dapat mudah dijawab yaitu karena Jokowi sudah tahu bahwa jika itu dilakukan pada masa pemerintahannya maka pasti akan mendapat banyak penolakan dan merugikan kepentingannya, salah satunya dan mungkin yang utama adalah skenario untuk menaikan putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wakil Presiden mendampingi Prabowo akan gagal total karena rakyat pasti akan menolaknya imbas kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% ini.
Lalu, mengapa Jokowi menimpakan kenaikan PPN menjadi 12% yang dikatakan sebagai amanat UU ini kepada pemerintahan selanjutnya yaitu pemerintahan Prabowo ?
Ada 2 kemungkinan mengapa kenaikan PPN secara bertahap dari 10% menjadi 12% ini secara UU dilaksanakan paling lambat Januari 2025 :
- Bisa jadi ini adalah skenario jangka panjang Jokowi untuk menggembosi Prabowo sebagai Presiden dan berharap Prabowo akan dapat dilengserkan sehingga yang akan menggantikannya adalah Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.
- Bisa jadi ini juga skenario jangka panjang Jokowi untuk menggembosi PDIP sebagai partai dengan suara terbesar saat itu dan dengan koalisinya.
Jika mengacu pada opini yang muncul dan berkembang di media sosial, memang banyak yang menyalahkan PDIP atas kenaikan PPN dari 10% menjadi 12% secara bertahap ini tanpa pernah mau melihat fakta bahwa keputusan tersebut bisa dianulir lagi oleh DPR dan Presiden saat ini. Namun anehnya, tidak ada satupun yang mau menyalahkan Jokowi atas hal ini dengan alasan mengapa kebijakan menaikan PPN secara bertahap dari 10% menjadi 12% ini tidak dilakukan saja pada masa pemerintahan Jokowi jika ini memang dampaknya baik buat bangsa dan negara ?
Untuk pertanyaan KEDUA, apakah pemerintah, baik pemerintah Jokowi maupun pemerintahan Prabowo, tidak melakukan kajian secara ilmiah untuk menaikan PPN dari 11% menjadi 12% dengan melihat dampaknya secara makro maupun mikro dari dampak kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% ?
Kemungkinan besar, pemerintahan Jokowi, setidak-tidaknya banyak lembaga non-pemerintah yang melakukan kajian ini secara ilmiah akan dampak kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%. Dan mungkin karena inilah mengapa pemerintah Jokowi tidak kembali menaikan PPN tahap selanjutnya yaitu dari 11% menjadi 12%. Logikanya, jika kenaikan ini menguntungkan bangsa dan negara maka pasti sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Namun sebaliknya, jika hasilnya negatif alias buruk, mengapa Jokowi tidak menyarankan kenaikan ini dan sebaliknya hanya berlindung dibalik UU. Sekali lagi, UU memangnya tidak dapat direvisi ya ? Bukankah KIM Plus sudah sangat mayoritas suaranya di DPR sehingga apapun bisa saja kan diputuskan dan ditetapkan ?
Untuk pertanyaan KETIGA, tidak dapatkah DPR dan pemerintah sekarang meninjau ulang dan memutuskan untuk membatalkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% ini ?
"Hanya kitab suci yang tidak dapat diubah.", kata Rocky Gerung yang sering dibilang sebagai ateis.
Saya jadi ingat dengan saat kuliah ekonomi, dosen saya mengatakan bahwa salah satu kearifan ilmu ekonomi adalah selalu menyertakan asumsi cetris paribus, artinya sebuah analisa bisa menjadi benar atau salah ketika variabel-variabel dan kondisinya berubah.
Jadi, jika ingin menjadikan keputusan DPR pada tahun 2022 untuk diterapkan pada tahun 2025, maka ini tidaklah bijak, dan bisa menjadi sebuah kesalahan besar. Itulah mengapa harus dilakukan kajian ulang secara ilmiah.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, KIM Plus adalah sangat mayoritas suaranya di DPR. Harusnya pemerintah melakukan kajian terlebih dahulu dengan mengacu dari dampak kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% secara makro maupun mikro. Jika dampaknya negatif, maka pemerintah bisa mengajukan pembatalan atas UU yang ditetapkan sebelumnya tentang kenaikan PPN ini. Jika tidak sempat melakukan kajian, setidak-tidak menimbang kajian yang dilakukan oleh lembaga lain tentang hal ini. Dan salah satunya bisa dengan mempertimbangkan hasil kajian dari CELIOS sebagaimana yang sudah dirilis sebagaimana bisa juga kita lihat dalam video pada awal tulisan ini.
2. Kenaikan PPN hanya untuk barang mewah
- Jika memang targetnya adalah barang mewah, mengapa tidak menggunakan instrumen PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) ?
- Apakah yang dikenakan PPN hanya benar-benar barang mewah ?
Untuk pertanyaan kedua di atas, mengacu pada UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Niai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPN dikenakan atas tas, pakaian, sepatu, produk otomotif, alat elektronik, pulsa telekomunikasi, perkakas, produk kecantikan hingga kosmetik. Selain itu, jasa layanan streaming musik dan film juga menjadi target pengenaan PPN, seperti Spotify dan Netflix. Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang produk-produk yang terkena dan tidak terkena kenaikan PPN, silahkan KLIK link berikut ini : https://www.tempo.co/ekonomi/ppn-12-persen-berlaku-1-januari-2025-ini-daftar-barang-yang-terdampak--269914
Pertanyaannya, apakah semua tas, pakaian, sepatu, alat elektronik, perkakas, produk kecantikan dan kosmetik merupakan barang mewah ? Apakah pulsa telekomunikasi adalah barang mewah ?
Banyak fakta ditemukan di lapangan bahwa barang-barang yang terkena PPN adalah barang-barang yang dapat dikategorikan sebagai barang bukan mewah.
Selain 2 menyorot 2 argumentasi pemerintah di atas yang layak untuk dikritisi, ada beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan terkait masalah ini, yaitu :
- Apakah PPN adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah keuangan negara ?
- Lebih dari itu, apakah PPN adalah obat atau racun, racun yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan ekonomi masyarakat ?
Sebagaimana disampaikan oleh Media Wahyudi Askar, Peneliti dan Pendiri CELIOS, sebagaimana dapat disaksikan dalam video di atas, PPN bukanlah satu-satunya instrumen pajak yang dapat digunakan oleh pemerintah. Masih banyak instrumen pajak yang dapat digunakan oleh pemerintah dan lebih efektif, apalagi jika mempertimbangkan salah satu fungsi pajak sebagai fungsi distribusi yang pemerataan pendapatan, misalnya pajak ekspor, pajak kekayaan, dan lain sebagainya. Lalu mengapa ini tidak dilakukan pemerintah ?
Ada 2 kemungkinan mengapa pemerintah lebih memilih untuk menaikan PPN, yaitu :
- Alasan pertama, sebagaimana yang disampaikan oleh Media Wahyudi Askar, adalah karena lebih mudah.
- Alasan kedua yaitu kepentingan dari para pengusaha dan elite politik, apalagi elite politik yang sekaligus adalah pengusaha.
Jadi, landasan atau alasan pemerintah lebih memilih menaikan PPN untuk mengatasi masalah keuangan negara adalah bukan karena alasan rasional, melainkan karena alasan-alasan non-rasional.
Jika pemerintah benar-benar mengedepankan alasan-alasan rasional, setidak-tidak mau mempertimbangkan kajian dari CELIOS mengenai dampak dari kenaikan PPN dengan mengacu data dari kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%.
Btw, jangan senang dulu kalau seandainya PPN tidak jadi naik dari 11% menjadi 12%. Bisa jadi, ini adalah skenario agar pemerintahan Prabowo tampil sebagai pahlawan, yang membatalkan kenaikan PPN.
Lagipula, jika memang ingin menaikan PPN, mengapa diumumkan menjelang akhir tahun yang penuh dengan hari libur dan cuti bersama ? Bukankah bisa diumumkan pada bulan November 2024 sehingga banyak lembaga akan bisa melakukan kajian ilmiah sebagai bahan masukan untuk pemerintah seandainya pemerintah malas untuk melakukan kajian ilmiah atas hal ini ?
Dan terakhir, jika kebijakan menaikan PPN adalah untuk mengatasi masalah keuangan negara, apakah tidak sebaiknya dicari penyebabnya terlebih dahulu agar dapat mengambil kebijakan yang tepat dan efektif, apa yang menyebabkan terjadinya masalah keuangan negara. Jangan-jangan penyebab utama terjadinya masalah keuangan negara adalah akibat dari KABINET YANG GEMUK yang dibuat oleh pemerintah sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rocky Gerung jauh sebelumnya tentang dampak dari kabinet yang gemuk sebagaimana yang dapat Anda saksikan dalam video di bawah ini :
@maxsahuleka
Nah, BAGAIMANA MENURUT ANDA ?
Salam Cerdas Bernalar, Beragama dan Berpolitik,
Max Hendrian Sahuleka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar